Rerintikan gerimis seakan tersenyum manis menyambutku yang keluar dari Stasiun Pondok Ranji. "Ah! Hujan, "gerutuku sambil berdiri menunggu hujan reda.
Sesekali ku tengok anak kecil pembawa payung yang tersenyum menyambut turunnya hujan dengan riang gembira. Tak seperti aku yang justru menekuk senyum.
Rinai yang datang tiba-tiba muncul sekawanan dan membuat hujan yang tadinya tik-tik rintik-rintik justru semakin lebat dan deras. Segera saja ku tutup tasku dengan plastik anti air agar tak basah. Ku amati sekeliling, semua orang asik dengan gadget mereka masing-masing. Ada yang termenung, ada pula yang mengobrol.
Lalu aku berbisik pada angin. "Hei, tolong tiup awannya sebentar saja, aku ingin berlari. Lekaslah, hari sudah sore."
Seolah mendengar ucapanku, hujan yang tadinya deras berangsur reda. Meski demikian, tetap saja tetes-tetes air hujan ini menarikku pada putaran rindu yang enggan berlalu.
Lalu kaki ini melangkah sambil berlari-lari kecil keluar stasiun. Tepat saat itu ada angkot putih yang biasa lewat depan kost ku. Karena hujan gerimis, langsung saja aku naik ke angkot. "Fyuuuh...." gumamku lega.
Sepanjang di angkot, pikiranku mulai memikirkan seblak atau soto. Aku sudah merencanakan nanti aku turun di Fathullah saja, di sana ada banyak kuliner dan tentu saja seblak langgananku di sana. Aku juga memikirkan kalau hujan-hujan gini makan soto dengan cabe yang banyak, beuh! Pasti mantap sekali. Hehe.
Tapi-tapi-tapi, angan-anganku tadi semua buyar alias ambyaaar! Kau tahu kenapa? Jantung ini seketika dag-dig-dug tak karuan, pikiran yang mulanya tenang berubah panik.
Fixs! Aku salah naik angkot. Aish! Marini kebiasaan! Sudah lima tahun aku berada di kota ini semenjak aku memutuskan untuk kuliah di sini. Meski demikian, tetap saja aku masih sering nyasar, lupa jalan, atau bahkan salah naik angkot, kopaja, dan lain-lain lah pokoknya.
Well, jalanan di sini tuh sama dan seragam. Makanya suka pusing ngapalin jalan. Hahaha. Untuk yang kesekian kali, aku nyasar!
Karena sudah terbiasa nyasar, aku tak panik lagi. Meski hati sebenarnya gundah gulana. Aku tetap tenang dan tidak menunjukkan kepolosanku. Beda ceritanya pas aku maba alias mahasiswa baru dulu yang pas nyasar nelpon temen asli sini buat ditunjukkan jalan pulang. Hehe.
Kalau sekarang mah nyasar tetep tenang meski rada takut juga sebenernya. Oke, cukup flashbacknya, mari kembali ke cerita tadi.
Setelah jalan yang kulalui sudah tak lagi sama seperti rute yang biasa aku lewati, seribu persen aku mah yakin kalau aku nyasar. Lalu sambil ku tengok panorama dibalik jendela angkot, sesekali ku baca tulisan-tulisan. "Sedang di mana aku ini?"
Untungnya salah naik angkot tuh bisa jalan-jalan sekalian. Lalu mataku jeli mengamati sekitar kawasan yang dilalui angkot. "Tenang Mar, tenang! Ini angkot pasti muter lagi nanti ke arah stasiun. Cukup duduk manis sampai pemberhentian terakhir," ujarku dalam hati.
Benar saja, tepat di pemberhentian terakhir, aku putar arah dan naik angkot lagi. Sampai deh dengan selamat. Alhamdulillah. Karena lewat jalur yang beda, jadi angkot ini tak melewati Fathullah. Gak jadi makan seblak deh. Tapi tak apa, aku jadinya beli soto ayam ditambah cabe yang banyak. Endes tapi bikin perut mules. Hehe..... *(marini)
Based on true story.
Semanggi (24/8).
Sesekali ku tengok anak kecil pembawa payung yang tersenyum menyambut turunnya hujan dengan riang gembira. Tak seperti aku yang justru menekuk senyum.
Rinai yang datang tiba-tiba muncul sekawanan dan membuat hujan yang tadinya tik-tik rintik-rintik justru semakin lebat dan deras. Segera saja ku tutup tasku dengan plastik anti air agar tak basah. Ku amati sekeliling, semua orang asik dengan gadget mereka masing-masing. Ada yang termenung, ada pula yang mengobrol.
Lalu aku berbisik pada angin. "Hei, tolong tiup awannya sebentar saja, aku ingin berlari. Lekaslah, hari sudah sore."
Seolah mendengar ucapanku, hujan yang tadinya deras berangsur reda. Meski demikian, tetap saja tetes-tetes air hujan ini menarikku pada putaran rindu yang enggan berlalu.
Lalu kaki ini melangkah sambil berlari-lari kecil keluar stasiun. Tepat saat itu ada angkot putih yang biasa lewat depan kost ku. Karena hujan gerimis, langsung saja aku naik ke angkot. "Fyuuuh...." gumamku lega.
Sepanjang di angkot, pikiranku mulai memikirkan seblak atau soto. Aku sudah merencanakan nanti aku turun di Fathullah saja, di sana ada banyak kuliner dan tentu saja seblak langgananku di sana. Aku juga memikirkan kalau hujan-hujan gini makan soto dengan cabe yang banyak, beuh! Pasti mantap sekali. Hehe.
Tapi-tapi-tapi, angan-anganku tadi semua buyar alias ambyaaar! Kau tahu kenapa? Jantung ini seketika dag-dig-dug tak karuan, pikiran yang mulanya tenang berubah panik.
Fixs! Aku salah naik angkot. Aish! Marini kebiasaan! Sudah lima tahun aku berada di kota ini semenjak aku memutuskan untuk kuliah di sini. Meski demikian, tetap saja aku masih sering nyasar, lupa jalan, atau bahkan salah naik angkot, kopaja, dan lain-lain lah pokoknya.
Well, jalanan di sini tuh sama dan seragam. Makanya suka pusing ngapalin jalan. Hahaha. Untuk yang kesekian kali, aku nyasar!
Karena sudah terbiasa nyasar, aku tak panik lagi. Meski hati sebenarnya gundah gulana. Aku tetap tenang dan tidak menunjukkan kepolosanku. Beda ceritanya pas aku maba alias mahasiswa baru dulu yang pas nyasar nelpon temen asli sini buat ditunjukkan jalan pulang. Hehe.
Kalau sekarang mah nyasar tetep tenang meski rada takut juga sebenernya. Oke, cukup flashbacknya, mari kembali ke cerita tadi.
Setelah jalan yang kulalui sudah tak lagi sama seperti rute yang biasa aku lewati, seribu persen aku mah yakin kalau aku nyasar. Lalu sambil ku tengok panorama dibalik jendela angkot, sesekali ku baca tulisan-tulisan. "Sedang di mana aku ini?"
Untungnya salah naik angkot tuh bisa jalan-jalan sekalian. Lalu mataku jeli mengamati sekitar kawasan yang dilalui angkot. "Tenang Mar, tenang! Ini angkot pasti muter lagi nanti ke arah stasiun. Cukup duduk manis sampai pemberhentian terakhir," ujarku dalam hati.
Benar saja, tepat di pemberhentian terakhir, aku putar arah dan naik angkot lagi. Sampai deh dengan selamat. Alhamdulillah. Karena lewat jalur yang beda, jadi angkot ini tak melewati Fathullah. Gak jadi makan seblak deh. Tapi tak apa, aku jadinya beli soto ayam ditambah cabe yang banyak. Endes tapi bikin perut mules. Hehe..... *(marini)
Based on true story.
Semanggi (24/8).
Komentar
Posting Komentar