“Hati-hati!” Sebuah tangan refleks menarik tangan Tabi ke pinggir
jalan.
“Uh, hampir saja! Kalau tidak
kamu pasti sudah diserempet sama truk itu.”
Ah, bak dalam sebuah dongeng
ketika sosok pangeran tampan datang menyelamatkan sang puteri. Tabi terpesona
olah sikap pemuda yang barusan menolongnya.
“Terimakasih! Namaku Tabi!”
Pemuda itu terus berjalan santai
dengan headset terpasang di
telinganya. Tabi terus saja berteriak terimakasih, namun ia seperti tak
mendengar dan terus melangkah.
“Kamu abis dari mana sih, aku cariin
juga! Ayo temani aku beli kopi pesanan kakek di kedai Pak Wan.”
“Em, anu...aku abis dari....”
belum selesai Tabi berbicara, tangannya langsung ditarik oleh Dona, sahabat kecilnya
menuju kedai kopi Pak Wan.
Kedai kopi Pak Wan terlihat
ramai. Semerbak aroma kopi mengudara seolah tersenyum ramah pada tiap
pengunjung yang datang. Ah! Meski harum semerbak, tetap saja sejak dulu Tabi
tak suka aroma kopi. Gadis cantik itu menatap ke sekeliling kedai. Tap! Tatapan matanya tepat terhunus pada
sosok pemuda berkulit sawo matang yang sedang menyeruput kopi. Yap! Dia adalah pemuda yang menolong Tabi
tadi pagi. Langkah kakinya mulai berderap menghampiri cowok manis yang sudah
menjadi dewa penolongnya itu.
“Menurut kau yang menarik dari
sebuah kopi itu apa sih?” Gadis berambut panjang terurai itu mencoba membuka obrolan.
“Perkenalkan, namaku Tabi!”
Tak ada respon dari cowok
berjaket abu-abu itu. Ia terus saja
menyeruput nikmatnya secangkir kopi Arabika. Baginya tak ada yang lebih nikmat
selain meminum secangkir kopi di kedai langganannya itu. Bahkan cewek secantik
Tabi pun diabaikannya.
“Tabi, kamu ngapain! Aku sudah
selesai beli kopi pesanan kakek. Ayo pulang,” teriakan Dona mengagetkan Tabi.
Seketika ia mengerenyitkan dahi. Udara pagi nan sejuk seolah menjadi terik dan
panas.
“Well, maaf sudah ganggu waktu minum kopimu, sebelumnya terimakasih
sudah menyelamatkanku tadi pagi,” ujar Tabi dengan nada kecewa sambil bergegas pergi
meninggalkan pemuda berjaket abu-abu itu yang terus aja menikmati tiap tegukan
kopi.
Sesekali ia menoleh ke belakang,
berharap si pemuda memanggilnya. Ah! Tetap saja sampai langkah terakhir Tabi
meninggalkan kedai, pemuda itu sama sekali tidak menggubrisnya. “Jahat!”
gumamnya dalam hati.
**********************************************************************************
“Tabi, kamu mau kemana?”
“Hei, Dona. Aku mau
berjalan-jalan di sekitar kebun kopi milik kakek nih. Besok kan aku sudah balik
ke Palembang. Makanya disisa liburan kali ini, aku ingin menikmatinya. Kali ini
kau tak perlu anter aku kok. Aku mau ngebolang sendiri. Hehe.”
“Huuuu! Nggak mau nih minum kopi
racikanku? Ini nikmat lho!” ujar Dona memamerkn kopi racikannya. Sesekali ia
menyeruput kopi buatannya itu agar Tabi tertarik untuk mencoba.
“Ribuan kali pun kau rayu aku
untuk minum kopi, tak kan mau aku meminumnya. Kau tau kan kalau sedari dulu aku
tak suka kopi. Kopi itu pahit. Hitam. Menyebalkan. Seperti pemuda kemarin, si
pemuda berkulit hitam pecinta kopi yang menyebalkan. Sudah ah! Aku mau jalan
saja.”
“Oh, pemuda yang kemarin minum
kopi? Itu si Fari, dia memang pecinta kopi. Ayahnya juragan kopi, tapi dia
lebih suka minum kopi di kedainya Pak Wan. Sekarang sih dia lagi merantau buat
kuliah di Jakarta, dia ambil Jurusan Pertanian.”
Tabi hanya tertegun mendengar
ucapan Dona tentang Fari.
“Anaknya juragan kopi. Pantes
doyan kopi,” gumamnya.
Kali ini langkah Tabi berbelok
menuju kedai kopi Pak Wan. Sesekali matanya menatap tajam ke arah pengunjung
kedai.
“Hei, kamu yang kemarin kan? Kamu
ngapain berdiri di depan kedai? Mau minum kopi bersama kah?”
Seketika jantung Tabi berdegup
kencang. Darahnya seakan mengalir deras. Bibirnya terkunci bisu. Pemuda cuek
yang kemarin bersikap menyebalkan kini berubah hangat dan manis, semanis gula.
Ah! Senyum pemuda itu manis, meluluhkan hati Tabi yang mulai terhipnotis panah
cinta Dewi Amor.
“Oh, iya...iya boleh!” Ujarnya.
Pemuda itu datang dengan membawa
dua cangkir kopi hitam pekat.
“Silahkan,” tutur pemuda itu.
Tabi diam terpaku. Sangat sopan
dan ramah. Tanpa melihat lagi, gadis itu langsung menyeruput kopi hitam yang
dibawakannya.
Baru seteguk ia meminum kopi itu,
ia langsung menyemburkannya keluar dari mulutnya. Tepat mengenai wajah si pemuda itu.
“Puih..puih...siapa yang pesankan
kopi. Pahit sekali. Rasanya tidak enak. Itulah sebabnya dari dulu aku tidak
suka dengan kopi!” ujar Tabi spontan.
Pemuda itu diam seribu bahasa. Ia
hanya mengelap wajahnya yang basah akibat semburan kopi dari Tabi.
“Maaf! Maaf! Aku tak sengaja!”
sesal Tabi.
Pemuda itu diam, kemudian menarik
nafas panjang dan mulai menyeruput kopinya.
“Tidak apa. Kamu tidak suka kopi
ya. Saya kira kamu suka kopi,” ujarnya tersenyum simpul.
“Aku Tabi. Maaf! Iya aku tak suka
kopi. Kopi itu pahit dan tidak enak.”
“Nama saya Fari.” Ujarnya pelan
sambil kembali menyeruput kopi.
**********************************************************************************
Selama di kedai kopi, tak banyak
kata yang diucapkan keduanya. Fari asyik bersama kopinya, sedang Tabi terus
saja bermain gadget. Sampai tetes
terakhir kopi di cangkir Fari, baru keduanya memutuskan untuk pulang.
“Menurutmu yang menarik dari kopi
itu apa sih?” Tabi kembali mengawali perbincangan di tengah perjalanan pulang
mereka dari kedai yang terasa sunyi dan canggung tanpa obrolan.
“Kopi itu berubah-ubah rasanya.
Sekalipun jenisnya sama dan yang buat sama. Itu uniknya kopi. Kalau saya suka
menyebutnya tergantung mood saat
menikmati kopi itu.”
“Jadi rasa kopi itu tergantung mood si peminum kopi ya. Kalau mood kita berubah berarti rasa kopi
berubah juga ya? Kalau kita membayangkan strawberry berarti rasa kopi juga bisa
kayak strawberry dong!”
Ucapan polos Tabi seketika
mengundang gelak tawa Fari. Tabi pun ikut tertawa melihat Fari.
“Mari ikut saya.”
Fari mengajak Tabi mengunjungi
kebun kopi yang tak jauh dari tempat mereka berjalan.
“Apa yang kau rasakan?”
“Laper!” ucapan spontan Tabi
membuat Fari terus saja terkekeh.
“Saya serius, Tabi.”
“Lha, emang pada kenyataannya aku
laper kok!”
“Emm... baiklah-baiklah,
sebentar!”
Fari pergi beberapa saat dan
kemudian datang kembali dengan baju kotor. Sepasang tangannya membawa ubi yang
baru saja dicabutnya dari kebun milik Pak Wan.
“Ini aku bawa ubi izin cabut tadi
sama isterinya Pak Wan, si pemilik kedai kopi langgananku.”
Lalu Fari segera membakar ubi
tersebut.
“Kamu jagain ubinya ya jangan
sampai hangus. Saya akan kembali sebentar lagi.”
Sambil menunggu Fari kembali
datang, Tabi terus saja membolak-balik ubinya. Derap langkah Fari terdengar.
Kali ini pemuda itu datang dengan membawa dua cangkir kopi hitam.
“Coba hirup aroma kopi dari kebun kopi ini.
Lalu mulailah menyeruput kopi ini dengan pelan. Rasakan sensasinya, nikmati
ketenangan yang alam berikan.”
“Harus nih, aku minum kopinya?”
Fari tersenyum. Ia melihat perjuangan Tabi menghabiskan secangkir
kopi yang dibawakannya itu.
“Sudah, tidak usah dipaksakan
jika tidak suka. Kamu tahu, kenapa aku suka kopi? Kopi itu memberikan
ketenangan pada tiap tegukannya. Kopi itu berubah-ubah rasanya. Sekalipun
jenisnya sama dan yang buat sama. Itu uniknya kopi,” kata Fari sambil mengunyah
ubi bakar dan meminum kopi.
Tabi segera mengambil kembali
cangkir kopinya. Ia mulai memejamkan mata seolah menikmati tiap tetes kopi yang
ada.
“Wah, habis! Kopi pahit bisa
berubah jadi manis ya!”
“Itu karena kamu minum kopi
sambil ngelihatin saya yang manis. Jadi rasanya berubah manis deh!”
Tabi tersenyum malu-malu. Ah!
Secangkir kopi ini menjadi seteguk cerita indah untuknya. Entah kenapa, sejak
saat itu, Tabi mulai menyukai kopi. (Marini)
Cool, masih ttg aku, kamu dan secangkir kopi ��
BalasHapusHahaha... duh sosok Fari muncul...masih tentang aku, kamu, dan secangkir kopi.
Hapus